Mengunggah Rekaman Kekerasan yang Dilakukan Sendiri, Sesakit Apa Masyarakat Kita?
Senin, 2 Maret 2020 06:24 WIBAksi kekerasan orang tua terhadap anak yang masih kecil telah diangkat ke panggung pertunjukan dengan hadirnya gadget, internet, serta aplikasi media sosial. Banyak orang memiliki kesempatan untuk mencegah kekerasan terhadap anak, tapi mengapa mereka lebih memilih untuk merekamn aksi kekerasan itu?
Apa yang dimaui siapapun yang mengunggah rekaman video kekerasan ke media sosial? Terlebih lagi bila pelaku kekerasan itu dirinya sendiri sedangkan korbannya adalah buah hatinya sendiri--anak kandung? Bagaimana orang dapat bertindak seperti itu? Mengapa? Apa yang ia pikirkan tentang tindakan itu? Untuk apa pula ia mengunggahnya ke media sosial?
Banyak peristiwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan orangtua kandung pun sanggup melakukannya. Zaman apa ini? Apakah orang-orang dewasa itu menikmati ekstase tatkala menyiksa anak kandungnya sendiri, semakin ekstase menyaksikan anaknya menjerit kesakitan dan menangis ketakutan, dan semakin bertambah ekstase ketika menyajikan rekaman videonya kepada publik dan viral?
Jika aksi kekerasan kepada anak itu manifestasi gejala sakit, apa istilah yang layak dikenakan pada mereka? Apakah kekerasan itu ekspresi kekecewaan, ketidakpuasan, kekesalan, dan ketidakmampuan mengatasi persoalan dalam relasi pelaku dan pasangannya? Bahwa anak kemudian dijadikan target pelampiasan kekesalan kepada pasangan bercampur dengan tekanan kemiskinan bagi sebagian orang?
Sebagian orang barangkali ingin menarik perhatian publik dan media sosial adalah jalurnya: youtube, whatsapp, dsb. Semakin viral videonya, semakin populer dia. Inikah yang dicari, sejenis popularitas ala psikopat? Bukankah dengan menggunggah video ke media sosial akan memudahkan ia tertangkap oleh pihak berwajib? Apakah justru ini yang ia inginkan? Apakah ini bagian dari skenario yang ia susun, yang akan membuat dirinya semakin populer, sebab popularitas membuat dirinya dikenal dunia?
Tampaknya, tidak setiap aksi kekerasan direkam sendiri oleh pelakunya. Perekamnya mungkin orang dekat yang sangat mungkin juga kerabat pelaku dan korban. Mengapa perekam video itu tidak mencegah dan menghentikan aksi kekerasan orang dewasa, tapi justru memilih untuk terus merekam aksi itu? Apa yang ada dalam benak si perekam? Seorang orang tua kandung bahkan sanggup berdiam diri menyaksikan anaknya disiksa oleh ayah/ibu tirinya.
Apakah si perekam juga menikmati adegan kekerasan yang berlangsung persis di hadapannya, ataukah ia bermaksud merekam sebagai bukti? Manakah yang lebih baik di antara dua hal ini: merekam aksi kekerasan agar ada bukti atau mencegah serta menghentikan terjadinya kekerasan? Kedua pilihan itu memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing.
Aksi kekerasan orang tua terhadap anak yang masih kecil telah diangkat ke panggung pertunjukan dengan hadirnya gadget, internet, serta aplikasi media sosial. Unggahan video kekerasan bukan lagi dilakukan oleh orang yang tidak terlibat di dalamnya, melainkan justru oleh pelaku atau orang dekat di sekitarnya, namun mereka sama-sama memiliki kesempatan untuk mencegah kekerasan tapi memilih untuk merekamnya. Entah mengapa ia tidak melakukan aksi penyelamatan. Semakin sakitkah kita? >>

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Di Balik Dugaan Manipulasi Angka Statistik ala Rezim Prabowo
Rabu, 27 Agustus 2025 18:54 WIB
Di Balik Amnesti Hasto: Prabowo dan Megawati Sepakat Mengubah Permainan
Sabtu, 2 Agustus 2025 08:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler